Sabtu, 30 Oktober 2010

Membaca (lagi) Bab Pertama


Permasalahan itu nyaris selalu ada. Permasalahan menurut Quality Control ala manufacturing, didefinisakan sebagai Gap (perbedaan) antara kondisi aktual dan target yang ingin dicapai. Di ranah kehidupan keseharian, masalah bisa jadi sesuatu yang tidak sesuai ekspektasi kita.

Terkadang, adanya masalah, menjadi sebuah alasan untuk menunda2 melakukan kebaikan. Kita ingin menyelesaikan masalah ini itu terlebih dahulu, baru kemudian beralih ke hal lain. Padahal, jika kita sadar bahwa masalah itu selalu kan ada, maka kita tidak akan menunggu momen yang tidak akan pernah datang itu. Yang ada, kita selalu berupaya melakukan yang terbaik, seberapa pun masalah datang.

Atau juga terkadang kita saking berfokus ke sebuah permasalahan besar, setelah mampu menyelesaikannya, tidak sadar, bahwa masalah lain sedang menunggu. Dan saat masalah baru datang, ketidaksiap-an kita membuat perasaan frustrasi hinggap dan kemudian menghalangi tumbuhnya semangat 'tuk melakukan kebaikan.

Masalah yang kita hadapi bisa besar atau kecil. Terkadang, penilaian seberapa besar atau kecilnya masalah berpulang dari perspektif, sudut pandang kita.

Malam ini, sejenak saya berfikir, bisa saja, permasalahan yang selama ini kita alami, berpulang pada ketidaktahuan kita mengenai cara memandang kehidupan ini, termasuk masalah didalamnya.

Jika seumpama saja kehidupan ini adalah proses belajar, maka ujian atau masalah adalah sarana untuk menguji proses pembelajaran yang kita tempuh.

Saat ujian akhir-akhir2 ini begitu terasa dahsyat, maka say menasehati diri saya agar jangan pernah merasa bosan, mengulang2 materi bab sebelumnya, mengambil hikmah dari perjalanan kehidupan yang telah ditempuh dan jangan pernah ragu untuk sesekali memulai mengeja kembali makna kehidupan, meskipun hal ini seperti halnya kita memulai lagi membaca Bab pertama.

Malam ini, sejenak saya juga bertanya, pernahkah kita bertanya pada diri kita sendiri, "Untuk apa kita hidup, apa tujuan yang ingin kita capai?" Dan "Apakah semua yang telah kita lakukan berarti bagi tujuan yang ingin kita capai?"

Minggu, 10 Oktober 2010

Sebelum terlanjur, sedikit bersabar terkadang perlu


Usia itu berbilang, dan kelak semua perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Seandainya surga dan neraka itu sekedar ilusi, tipuan dan dongeng belaka, maka semua orang pantas berlomba2 menjadi sejahat2nya manusia, merampok, membunuh dan minimal menipu sesamanya demi kesenangan hidupnya yang tanpa perhitungan amal (menurutnya). Dan menjadi orang baik -jika surga itu tidak ada- sepertinya hanya memberikan ketenangan hati, dan sedikit benefit sahaja.
Ada sebuah kisah, tapi ini berbau sufistik.
(Mohon maaf bagi yang kurang berkenan)
Pernah terjadi kebakaran pada sebuah pasar. Maka seseorang menemui Seorang ulama salaf dan menyatakan, "Wahai tuan, ada kebakaran di pasar." pemberi kabar itu meneruskan,"Tapi Kios kepunyaan anda untungya tidak terbakar." Dan Lalu Ulama salaf tersebut berucap " Alhamdulillah". Berpuluh-puluh tahun kemudian, ulama salaf ini masih teringat sikapnya pada saat itu, bertahmid, padahal seharusnya ia ber-istirja' (karena kios lain di pasar terbakar meskipun kiosnya selamat) dan senantiasa memohon ampun, takut seandainya ia salah bersikap.
Kisah lainnya, dikhabarkan dalam sebuah atsar, bahwa salah satu akhlaq Ibnu Abbas ra adalah beliau senantiasa merasa gembira saat turunnya hujan, merasa senang bahwa Allah menyirami kebun2 kaum muslimin, meskipun dikhabarkan beliau ra sendiri tidak memiliki kebun.
Sekedar ucapan, sekedar perasaan senang, jika ia bernilai kebaikan, maka akan mendatangkan kebaikan. Begitu juga sebaliknya.
Jika sekedar ucapan dan perasaan senang saja sangat berarti bagi salafush-shalih, maka apatah lagi sebuah tindakan, dan terlebih tindakan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum.
Menunggu suasana reda, atau mencari informasi yang valid, penting agar tidak salah bersikap, tidak salah berucap, dan lebih2 salah bertindak. Sebagaimana mencari ilmu, pemahaman yang lurus, sebuah kemestian agar langkah semakin hati2.
Bukankah taqwa digambarkan oleh seorang Shahabat ra seumpama berhati2 ketika melangkah di jalan yang dipenuhi duri berserakan?
Menjadi baik itu seumpama jagung yang takkan berbuah tanpa ada jagung lainnya disekitarnya.
Bertemu saudara seiman dan saling menasehati terkadang jauh lebih berharga daripada dunia dan se-isinya
Selamat berlari kencang, Semoga kita ditolongNya di hari2 ini, setelah kita ditinggalkan oleh Ramadhan.

Sebuah Pembenaran yang salah

Saya selalu suka mengingat2 cerita ini. Cerita ini disebutkan Ust. Rahmat Abdullah (Allahu yarham) dalam sebuah tulisan beliau (atau mungkin juga pada sebuah ceramah- Allahu a'lam)

Dalam sebuah perkampungan, pernah suatu malam masyarakat digegerkan oleh sebuah pencurian. Tak tanggung2, sebuah makam yang dicuri. Yang dicuri adalah kain kafan, dan jenazah diletakkan kembali di liang tanpa penutup kain kafan. Lalu kejadian ini berlalu.

Beberapa waktu kemudian, kejadian serupa terulang. Namun kali ini jenazah yang tanpa kafan dibiarkan di permukaan tanah, tidak lagi dimasukkan ke dalam liang. Dari cerita ini ada sebuah ungkapan "Rahimallahu as-saariqa al-awwal" (Semoga Allah merahmati pencuri yang dulu/yang pertama)

Ungkapan ini begitu dalam. Dua2nya pencuri, bedanya yang satu lebih santun. Mencuri tetaplah salah, namun karena pencuri kedua ini lebih "brutal" maka masyarakat berucap meminta rahmat bagi pencuri yang pertama.

Dus, seringkali karena ternyata ada yang berbuat lebih jahat, lebih keji, menjadikan kita merasa "aman", merasa bersih walaupun ternyata kita salah (namun lebih ringan kesalahannya).

Dan, seringkali perbuatan salah orang seakan menjadi sebuah pembenaran bagi kita melakukan tindakan serupa, dan biasanya lebih ringan.

Paling kecil misalnya pelanggaran peraturan lalu lintas, dan paling besar mungkin juga korupsi.

Karena ada yang melanggar, seakan2 ini menjadi "lampu hijau".

"Toh, yang lain juga melanggar."

Karena ada yang korupsi lebih banyak (atasannya misalkan), seakan menjadi alasan juga untuk merasa aman saat korupsi lebih sedikit.

"Toh saya cuma korupsi sedikit."

Ah, mudah2an kita diberi pencerahan, mudah2an saya, anda dan siapa pun juga bisa mulai menjadi pribadi2 yang tidak menjadikan kesalahan orang lain sebagai pembenaran untuk berperilaku sama salahnya,

Mudah2an saya, anda dan siapa pun juga bisa mulai menjadi pribadi2 yang tidak menjadikan kesalahan orang lain sebagai pembenaran untuk berperilaku salah namun lebih ringan

Mudah2an saya, anda dan siapa pun juga bisa mulai menjadi pribadi2 yang tidak menjadikan kesalahan orang lain sebagai pembenaran untuk berperilaku lebih salah dan menganggap orang yang kesalahannya lebih sedikit sebagai orang bodoh yang tidak memanfaatkan kesempatan.

Mencari solusi

Dalam Kaifa nata'amal ma'al-qur'an karya Syeikh Muhammad Al-Ghazali, disebutkan, bahwa sebagaimana kekalnya Al-Qur'an sebagai petunjuk dan sumber solusi semua permasalahan manusia, maka kesesatan dan permasalahan manusia pun sejatinya juga kekal hingga akhir zaman.
Rencana pembakaran Al-Qur'an misalnya, kejadian ini mengingatkan saya pada dua kejadian besar, yang pertama adalah kejahatan pembantaian massal umat islam di andalusia, dan kejadian kedua adalah penyerangan bangsa mongol ke wilayah Iraq. Betapa banyak Al-Qur'an yg dibakar masa itu.
Korupsi, perampokan, degradasi moral telah terjadi dimasa lampau, dan sekali lagi, Allah telah menurunkan penyembuh bagi orang yang beriman, yakni Al-Qur'an.

Giving up the result, not excuse

Umar bin khattab ketika bertanya kepada seorang sahabat mengenai taqwa, beliau ditanya balik, apakah anda pernah melalui jalan dg duri yg berserakan, ketika ia menyatakan pernah, ia kembali ditanya, apa yg anda lakukan? dijawab oleh Umar ra, aku akan berhati2 dan bersungguh2 agar tidak menginjak duri, sahabat yg ditanya berkata,"taqwa sebagaimana engkau berhati2 di jalan dg duri yg berserakan"
Ramadhan berlalu, seiring hilal syawwal yg terbit di atas ufuk, berbahagia dan bersedih sepertinya umum terjadi beriringan. Bersedih karena bulan penuh barakah ini akan berlalu, bergembira saat mendengar takbir menggema bahwa telah paripurna kewajiban puasa kita jalani. Sepenuh harap, agar segenap amal yang jauh dari sempurna di ramadhan kali ini bisa diterima, dan diperkenankan menjumpai ramadhan tahun mendatang.
Saat takbir menggema, semoga yang menjadi baru bukan sekedar pakaian sahaja, semoga yang baru adalah juga semangat ketaatan dan ketaqwaan yang semakin meningkat. Sebagaimana ungkapan dalam bahasa arab "Laysal-ied liman libaasuhu jadiyd, walakinnal-ied liman tho'atuhu(wa taqwahu) taziyd"
Bukanlah hari raya teruntuk mereka yg berpakaian baru, namun sejatinya hari raya teruntuk mereka yang ketaatan dan taqwanya bertambah.
Bulan syawwal, semoga menjadi bulan peningkatan.
"Harapan adalah sesuatu yg diiringi dengan amal, jika tidak maka sesungguhnya itu sekedar angan"(Al-Hikam)
Tiada mengherankan jika salafush-shalih dahulu, enam bulan berturut2 sebelum ramadhan memohon agar bisa dipertemukan Ramadhan. Dan selama enam bulan sisanya mereka memohon dan berdo'a agar amal2 di bulan ramadhan di terimaNya.
Semoga kita dijadikanNya mereka yang sepenuh hati berharap dijadikanNya hamba yg taqwa.
terakhir, dalam hadits riwayat Imam Ath-thobari dan Imam Daruquthni, dari shahabat Ubadah bin Shamit ra, disebutkan bahwa disunnahkan menghidupkan malam hari raya dengan amal2 bertaqarrub kepada Allah.

Pseudo black, pseudo darkness

Saat tinta hitam hampir habis atau kritis, dengan printer E**ON kita bisa tetap ngeprint. Warna hitam pada sebuah kertas hasil print, bisa berasal dari tinta hitam ataupun kombinasi warna Cyan, Magenta dan Yellow (kuning). Saya lebih suka menggunakan istilah pseudo black untuk warna ini.

Thus, kemudian saya berfikir, hal semacam ini juga terjadi dalam kehidupan kita. Pseudo black!

Anggap saja kehidupan kita sebagaimana sebuah kertas putih yang meluncur masuk kedalam sebuah printer, dan dengan seiring berjalannya waktu, warna2 tercetak dalam kehidupan kita. Atau kehidupan kita seumpama sebuah kanvas putih, yang kemudian kita goreskan warna diatasnya.

Setiap kehidupan manusia, memiliki warna tersendiri. Sebagaimana bahwa setiap kita adalah unik.

Beragam warna, selain putih yang menjadi sebuah dasar, atau sifat alamiah kita, ada juga warna hijau, biru, kuning, merah, ungu, kelabu dan warna lainnya. Ada warna-warna dasar, ada juga warna yang merupakan gradasi dari warna dasar dan tentu saja ada warna yang merupakan hasil kombinasi dari beberapa warna.

Kehidupan kita begitu penuh warna. Dan sejatinya kita memilih sebagian warna yang tercetak, yang terlukis dalam kehidupan kita, dan kita pun bisa jadi tumbuh pada lingkungan keluarga, masyarakat, wilayah yang memberi juga warna bagi kehidupan kita dengan atau tanpa persetujuan dan pemilihan dari diri kita.

Warna hitam, warna yang bisa memisahkan antar warna, dan juga bisa membentuk sebuah kerangka pola. Namun, tentu kita merasa warna hitam jika dominan bisa melambangkan sesuatu. Di belahan bumi tertentu, warna hitam, melambangkan kesedihan, kedukaan. Warna hitam juga melambangkan perlawanan, selain juga melambangkan kejahatan, sebagaimana warna hitam diasosiasikan sebagai lawannya warna putih, lambang kebenaran.

Pseudo black! Jika kita memandang warna hitam sebagai simbol kedukaan, maka bisa jadi kedukaan itu, warna gelap itu adalah pseudo black, hasil kombinasi beberapa warna. Mungkin sikap sabar bisa menjadi kunci untuk mengurai pseudo black menjadi warna-warna dasarnya yang secara alamiah indah.

Kemudian, bukankah hati digambarkan sebagai sesuatu yang alamiahnya bersih, tanpa noda, sebagaimana kertas atu kanvas putih? Noda hitam, mengotori hati. Pseudo black! Jangan-jangan noda gelap dalam hati kita merupakan pseudo black, gabungan dari berbagai warna, yang secara berlebihan mencetak noda gelap tersebut? Tak heran, agama senantiasa melarang kita untuk berlebih-lebihan kepada sesuatu yang pada dasarnya boleh, karena hal-hal yang boleh itu bisa jadi sebagimana warna-warna dasar yang jika kita terlampau banyak mengambilnya, akan menciptakan pseudo black, yang mengotori hati.

Hiduplah penuh warna, namun jangan biarkan warna hitam mendominasinya, jangan terlalu banyak mengkombinasikan warna, ambil dan jalani hidup dengan proporsional.

Dan hindari pula mewarnai hati dengan beragam warna yang pada akhirnya mencetak noda gelap, dan terkotorilah hati.

Shibghah Allah[*]. dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah. [QS Al Baqarah[2]:138]

[*] Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan.

Terakhir, berikut ini uraian dari Ibnu Atho’illah dalam Al-Hikam, semoga memberikan pencerahan:

Bagaimana mungkin hati bersinar, sementara gambaran-gambaran alam terlukis di cerminnya.
Bagaimana mungkin ia pergi menuju Allah, sementara ia terpasung oleh syahwatnya.
Bagaimana mungkin ia menuju ke hadirat Allah, sementara ia belum menyadari kelalaiannya.
Bagaimana mungkin ia berharap bisa memahami secara detil rahasia, sementara ia belumbertobat dari beragam kelalaiannya

Minggu, 09 Mei 2010

Inkonsistensi



Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj[22]:46)

Dan bahwasanya kepada Tuhamulah kesudahan (segala sesuatu), (An-Najm[53]:42)

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Ash-Shaff [61]:2)

barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya). (HR Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Amr - ada yang mengatakan Abu Amrah - Sufyan bin Abdillah Ats-Tsaqafi rodhiallohu ‘anhu. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, Katakanlah kepadaku suatu perkataan tentang Islam, yang tidak mungkin aku tanyakan kepada siapa pun selain kepadamu.” Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, ” Katakanlah: “Aku beriman kepada Alloh, lalu istiqomahlah.” (HR Muslim)

Sungguh mengherankan orang yang lari dari Dzat yang ia tidak dapat berpisah dari-Nya, lantas mencari sesuatu yang ia tidak menjadi kekal bersamanya. Karena sesungguhnya (yang demikian itu) bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada didalam dada. (Al-Hikam Ibnu Atho’illah)

Janganlah engkau berpindah dari satu alam ke alam lain, karena engkau akan mirip dengan keledai yang berputar di penggilingan, ia berjalan dan tempat yang ditujunya ternyata tempat dimana ia beranjak (berjalan dari situ ke situ saja). Namun beralihlah dari segenap alam ke pencipta alam (Allah). “Dan bahwasanya kepada Tuhamulah kesudahan (segala sesuatu) -An-Najm[53]:42-, (Al-Hikam Ibnu Atho’illah)

Mendeklarasikan keimanan dengan semata-mata gerakan lisan seiring lafazh yang terucap, adalah mudah. Namun, pengakuan atas keimanan, terwujud hanya setelah konsekuensinya mampu kita jalani, dengan segenap pengorbanan, dan konsistensi, istiqomah.

Dunia ini sementara, dan akhirat itu kekal. Sebagaimana dalam prinsip keadilan, apatah layak bagi seorang yang hidupnya penuh kebaikan ternyata buah kebaikannya itu terbatas oleh usia yang terhitung singkat? Dan dimanakah keadilan jika seorang penjahat dibiarkan istirahat dalam liang kuburnya tanpa pembalasan yang adil, atas prilakunya selama hidup? Dan dimanakah tempat yang memungkinkan kita menyaksikan limpahan rahmah dan ampunanNya dikaruniakan kepada manusia-manusia berhati mulia selain di kehidupan yang kekal itu?

Untuk itu, adakah alasan yang tepat kita menjauhi Dzat yang kita takkan mampu berpisah denganNya? Yang tiap detik, nyawa ini ada dalam genggaman kekuasaanNya? Dan segenap alam semesta tunduk dalam aturanNya? Dan setiap sudut rotasi benda2 angkasa, kecepatannya, kadar atmosfernya, serta jarak dan kekuatan magneticnya ada dalam ilmu, perhitungan dan ketetapanNya? Adakah alasan yang tepat hingga kita beralih menuju suatu yang fana, dunia, yang kelak akan binasa dan tiada?

Apakah kemudian mata hatilah yang telah buta, hingga segenap tanda-tanda kekuasaanNya seakan berlalu begitu saja tanpa ada sedikitpun hikmah, ibroh yang bisa kita jadikan pelajaran? yang bisa kita jadikan sarana menumbuhkan keimanan dan memantapkan keimanan?

Allahumma, Ya Allah, berikan kami petunjuk, dan jangan Engkau sesatkan kami setelah kami engkau beri petunjuk itu, Engkaulah Dzat Yang Maha Memberi Petunjuk …

Dan sedikit, demi sedikit, perlulah, niatan dalam hati kita bersihkan, sembari, kita juga memohon kepadaNya agar setiap perjalanan menuju keridhoanNya ini dibersihkanNya dari niatan duniawi yang semu. Sehingga perjalanan kita mendekatiNya, memperbaiki segenap kealpaan diri, tiada serupa keledai yang hanya berputar-putar dalam lingkaran penggilingan, berputar-putar di tempat yang sama, dunia yang sama, hanya beralih dari mencari dunia yang satu ini ke dunia yang lainnya lagi.

Namun, segenap dunia yang kita usahakan, cukuplah menjadi bekal untuk perjalanan panjang ini, bukan sebagai tujuan perjalanan itu sendiri.

Setiap jiwa tentu memiliki kelemahan, dan berbicara kebaikan tentu jauh lebih mudah ketimbang menjalaninya, dan istiqomah, konsisten dalam mengamalkannya.

Ya Rahman, karuniakanlah kami ‘ilmu, tambahkan kami ‘ilmu yang bermanfaat, dan berilah kami pertolonganMu untuk bisa mengamalkanNya, istiqomah dalah perjalanan panjang ini.

Senin, 03 Mei 2010

Sedikit pembicaraan mengenai takdir



Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. [1]

Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri rasul. yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik [2]

Mereka berkata: "Apakah kamu ini benar-benar Yusuf?". Yusuf menjawab: "Akulah Yusuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami". Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik" [3]

Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik.[4]

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. [5]

Rasulullah saw. sebagai orang yang jujur dan dipercaya bercerita kepada kami: Sesungguhnya setiap individu kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia. Demi Zat yang tiada Tuhan selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kamu telah melakukan amalan penghuni surga sampai ketika jarak antara dia dan surga tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga ia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kamu telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai ketika jarak antara dia dan neraka tinggal hanya sehasta saja namun karena sudah didahului takdir sehingga dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga. [6]

Sesungguhnya Allah Taala mengutus seorang malaikat di dalam rahim. Malaikat itu berkata: Ya Tuhan! Masih berupa air mani. Ya Tuhan! Sudah menjadi segumpal darah. Ya Tuhan! Sudah menjadi segumpal daging. Manakala Allah sudah memutuskan untuk menciptakannya menjadi manusia, maka malaikat akan berkata: Ya Tuhan! Diciptakan sebagai lelaki ataukah perempuan? Sengsara ataukah bahagia? Bagaimanakah rezekinya? Dan bagaimanakah ajalnya? Semua itu sudah ditentukan dalam perut ibunya. [7]

Rasulullah saw. ditanya: Wahai Rasulullah! Apakah sudah diketahui orang yang akan menjadi penghuni surga dan orang yang akan menjadi penghuni neraka? Rasulullah saw. menjawab: Ya. Kemudian beliau ditanya lagi: Jadi untuk apa orang-orang harus beramal? Rasulullah saw. menjawab: Setiap orang akan dimudahkan untuk melakukan apa yang telah menjadi takdirnya. [8]

Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba yang bila ia melakukan suatu pekerjaan ia lakukan dengan sungguh-sungguh/professional [9]

Himmah yang kuat tidak dapat menembus dinding takdir [10]

Kesungguhanmu untuk memperoleh apa yang telah dijamin untukmu serta kelalaianmu untuk melakukan apa yang dibebankan kepadamu, itu adalah tanda kebutaan bashirah [11]

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Furqan, sebagai petunjuk, pembawa peringatan bagi semesta alam. Saat Allah menciptakan manusia, malaikat pernah bertanya,"mengapa Engkau hendak menjadikan sebagai khalifah di bumi,(manusia) yang akan berbuat kerusakan di atasnya dan menumpahkan darah?" Allah menjawab, "sesungguhnya Aku mengetahui apa2 yang tidak kamu ketahui"

Salah satu asma' Allah adalah Al-Aliym, yang Maha mengetahui, salah satu bukti keimanan kita mengenai tauhid asma wa shifat, khususnya sifat Al-Aliym yakni bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, dan juga bahwa Allah sebagai Al-Khaliq yakni menciptakan segala yang ada di langit, bumi dan diantara keduanya, dan ditegaskanNya pula bahwa penciptaan itu tiadalah sia2. Bukti bahwa hingga saat ini bumi tempat kita hidup masih eksis dengan adanya pengaturan Allah dalam tata surya, harusnya menguatkan keimanan kita bahwa kita pun diliputi pengaturan dan penjagaanNya dan kita butuhkan hal tersebut untuk tetap hidup. Pengaturannya inilah yang juga bisa dimaknai sebagai ketetapannya,takdirnya.

Sebagaimana hikmah dalam Al-Hikam, bahwa takdir bisa dimaknai sebagai dinding dalam perjalanan kehidupan kita. Bahkan himmah yang kuat takkan mampu menembusnya. Dan bukankah Allah telah menentukan bagi kita ketetapan rizqi, umur, bahagia dan sengsara? bahkan ketentuan apakah seorang masuk surga dan neraka sudah ditetapkanNya. Namun, kita taida diperintahkan untuk pasrah, akan tetapi Rasulullah SAW menuntun kita untuk senantiasa beriman, memerintahkan kita untuk istiqamah dalam keimanan dan dalam berbuat kebaikan,  sebagaimana beliau juga mencontohkan dengan secepat mungkin melaksanaan peluang kebaikan, menghindari sekecil apapun perbuatan dosa, memperbanyak istighfar, dan memperbanyak doa, sebagaimana dalam riwayat salah seorang ummul-mukminin, doa yang senantiasa dilafalkan oleh Rasulullah SAW ketika berada di kediaman beliau adalah "(Ya muqallibal-quluwb, tsabbit qalbiy 'Ala diynika)Ya Allah yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agamamu"

Allah tiada akan menyia-nyiakan amalan baik, karena itu, Rasulullah SAW memerintahkan untuk menanam biji kurma jika ada di genggaman kita, meskipun kita tau besok adalah hari kiamat, yang artinya, kurma itu mungkin tidak akan tumbuh, tidak akan berbuah, atau tidak akan berfaedah bagi kita, tapi amal shalihnya tetap tercatat disisi Allah. Dan setiap kita akan dimudahkan menuju takdirnya.

Beramallah, karena kita tidak tahu, ketetapan atas kita surga atau neraka, dan beristiqamahlah, karena ada dalam hadits seorang yang berbuat baik selama hidupnya akhirnya su'ul khatimah, bunuh diri sebagai contohnya, dan di sisi lain, ada yang akhirnya husnul khatimah walaupun sepanjang hidupnya dipenuhi dosa. Artinya, kesempatan tergelincir dan kesempatan kembali kepadaNya kan selalu ada, hingga nafas yang terakhir.

Kita tidak masuk surga semata karena amal, namun rahmah dan maghfirahNya jua yang kita harap, sehingga segenap amal diterima, dan sebanyak apapun dosa kan terampuni. Berbahagialah yang kini diselimuti hidayahNya-mengutip kata hilmah Aa' Gym- dan jangan terlampau terpukau dengan segenap amal kebaikan hingga terlupa bahwa cobaan dan ketergelinciran bisa terjadi kapan saja. Dan bagi yang jauh dari hidayah, carilah hidayah itu, karena Allah melihat kesungguhan kita, dan ditetapkanNya bahwa akan diberikan petunjuk bagi yang bersungguh-sungguh menyongsongnya.

Singkatnya, saatnya kita sadar,bahwa Yang Menetapkan takdir adalah Allah Yang Maha Mengetahui. Selanjutnya, hal-hal menyangkut keduniawian kita, umur, rizqi, bahagia dan sengsara sejatinya telah ditetapkanNya. Selain kemudian ditetapkannya kewajiban bagi kita, untuk beriman, beramal shalih, istiqamah dalam umur yang terbatas itu, berusaha, bertawakkal dalam menjemput rizqiNya dalam usaha yang halal, membelanjakannya pula dijalan yang halal, tiada kikir, tiada berlebihan, kemudian bersyukur, juga atas rizqi dan juga terhadap kebahagiaan, dan bersabar atas mushibah dariNya. Adalah dalam Shirah Nabawiyah, kita disajikan suri tauladan untuk melakukan amal yang sungguh-sungguh, yang ditujukan untuk kehidupan di akhirat, sebagai kewajiban disamping ketetapan takdirNya.

Meyakini takdir, bukan berarti berhenti beramal, akan tetapi lebih giat beramal, setelah membebaskan diri dari ketergantungan terhadap amal tersebut. Senantiasa berupaya istiqamah dan mewaspadai keterpedayaan dan ketergelinciran. Dan mulailah mengarahkan segala upaya pada pemenuhan kewajiban dariNya, dan menghilangkan keresahan yang tiada perlu terhadap apa2 yang telah dijaminNya dalam ketetapanNya seperti rizqi, umur, bahagia dan sengsara.

Sebagai contoh, berhentilah resah atas rizqi, dan mulailah lebih giat berusaha menjemputnya dalam usaha yang halal, mulailah pula untuk mensyukuri apa yang telah diperoleh, selain juga sebagai tugas utama kita untuk beribadah kepadaNya.

Dan jangan lupa, untuk senantiasa memohon ampunan atas dosa yang telah dilakukan, dan berdoalah agar peroleh hidayah, agar tetap dalam hidayah, dan mendapat husnul khatimah yang menjadi pertanda rahmahNya kan kita peroleh hingga kemudian surga kan dianugerahkanNya.

Keterbatasan ilmu penulis semoga bisa antum sikapi dengan merujuk dalil-dalil yang dikutib diatas.

Allahu a'lam.

[1] Al-Furqon [25]:1-2

[2] At-Taubah [9]:120

[3] Yusuf [12]:90

[4] Al-Kahfi [18]:30

[5] Al-Ankabut [29] :69

[6] Shahih Muslim No.4781 riwayat Abdullah bin Masud ra

[7] Shahih Muslim No.4785 riwayat Anas bin Malik ra

[8] Shahih Muslim No.4789 riwayat Imran bin Hushain ra

[9] HR Abu Ya’la dan Ibnu ‘Asakir (Allahu a’lam derajat haditsnya, dalam kitab Sa’id Hawa, tidak ada tahqiqnya)

[10] Al-Hikam Syeikh Ibnu Atho’illah

[11] Al-Hikam Syeikh Ibnu Atho’illah

Minggu, 21 Februari 2010

(Sejenak) mengeja cinta



Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[*1] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). [1]

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[*2] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). [2]

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [3]

Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. [4]

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. [5]


Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras. [6]

Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. [7]

Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. [8]

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. [9]

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman.[] Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya.[] Dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.[] Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat", [] Padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin.[] Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir,[] Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.[] Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. [10]

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. [11]

Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, Maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [12]

Tiada beriman slah seorang diantara kamu, hingga aku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya dan manusia semuanya [13]

Bagaimana mungkin ia pergi menuju Allah, sementara ia terpasung oleh syahwatnya [14]

DijadikanNya indah, dalam pandangan manusia hal-hal yang disenanginya. Hal ini merupakan kesenangan dunia, dan adalah dunia itu sementara. Sedangkan surga, dijadikanNya kekal abadi. Kecintaan yang benar tentu saja mengutamakan kecintaan terhadap hal yang abadi, kekal, dibandingkan kecintaan terhadap hal-hal yang semu, yang sementara. Sehingga tak heran, cintanya orang-orang yang beriman teramat sangat kepada Allah. Bukankah seorang hamba akan masuk surga hanya dengan rahmah Allah? Adapun, mencintai kesenangan dunia, asalkan sesuai syari’at, dan tidak melebihi batas-batas kewajarannya tentu saja diperkenankan.

Mencintai kesenangan dunia melebihi kecintaan kepadaNya, merupakan sikap zhalim. Dan setiap kezaliman akan menuai siksa di hari pembalasan. Dalam syari’at bukankah diperkenankan bagi manusia mengambil kebutuhannya, dari kesenangan-kesenangan dunia yang disediakanNya? Tentu saja hal tersebut dalam rangka semakin dekat kepadaNya, semakin memahami keagunganNya, semakin bersyukur atas segala nikmatNya, semakin taat dan patuh kepadaNya serta semakin rindu untuk bertemu denganNya.

Maka tiada patut bagi manusia yang memiliki akal, untuk mengambil jalan selain jalan ketaatan kepadaNya, mengikuti segala syariat yang diturunkanNya. Dan bagi orang yang beriman, dijanjikanNya maghfiroh, ampunan, ridho, rahmah dan JannahNya. Dengan kata lain, tidak patut bagi manusia untuk mencintai kesenangan dunia melebihi cintanya kepada Allah dan RasulNya serta berjihad di jalanNya. Mencintai Allah berarti juga mencintai RasulNya dan syariat yang diturunkanNya. Adalah wajar, jika cinta menuntut sebuah pengorbanan, untuk membela syariatNya, dengan berjihad dijalanNya.

Bisa jadi ada seseorang yang diberi cobaan baginya kesenangan dunia, dan kita melihatnya sebagai orang yang berbahagia, dan ucapan-ucapannya mengenai dunia begitu memikat hati kita meskipun pada hakikatnya ia adalah orang yang menentang syari’atNya. Bisa jadi hal ini adalah tadarruj, dimana seseorang dibiarkan tetap melakukan kekufuran, dan mungkin juga dibiarkan bertambah kekufurannya, sementara kenikmatan dunia diberikan juga untuk semakin melalaikannya dari mengingatNya. Maka berhati-hatilah terhadap ketergelinciran semacam ini.

Di sisi lain, mungkin ada seorang yang berusaha mencari ridho Allah, berbekal keikhlasan mengharap ridhoNya, dan kemauan keras mengikuti sunnah Rasulullah SAW, sedangkan dimata masyarakat ia memperoleh hinaan, cercaan bahkan tindakan yang kurang terpuji. Maka jika ia meniti jalan dengan langkah yang benar, dan ia berjalan di jalanNya, tiada berarti fitnah baginya di sepanjang kehidupan dunia yang sementara ini, karena telah dijanjikanNya kesudahan yang berujung kebahagian nan kekal di surgaNya kelak.

Ketika orang-orang yang beriman di dunia ditertawakan oleh orang kuffar karena mereka berpegang teguh kepada kebenaran, maka Allah menjanjikan kelak di surga, orang-orang yang beriman berbalik menertawakan orang yang kufur kepadaNya yang ditimpakan azab atas mereka disebabkan segala amal-amal buruknya di dunia.

Ada baiknya, seorang hamba tersadar. Untuk memilih mencintai Allah dan RasulNya, serta berjihad dijalanNya, secara sungguh-sunguh dan utuh. Adapun mengenai kesenangan dunia, hendaklah ia mengambil “jatahnya” sebatas yang diperkenankan syari’at. Itupun sebagai bekal meniti jalan menujuNya.

Semua hal ini telah terangkum dalam syariat Islam yang universal, menyeluruh. Tinggal bagaimana kita menanam benih keimanan dalam hati, memupuknya hingga kuat menghujam dalam hati, dengan terus berupaya masuk dalam islam sepenuhnya. Teringat ungkapan dalam kitabnya Syeikh Al-Jazairy “Nidaa’urrahman li-ahliy imaan”, bahwasanya salah satu tafsir ayat-ayat “Yaa ayyuhalladziyna aamanuw”, bahwa perintah setelah seruan ini adalah merupakan sarana untuk memelihara iman di dalam hati.

Jadi bisa disimpulkan, bahwasanya seorang yang beriman, teramat sangat mencintai Allah, dan dengan cintaNya ini ia mentaati Allah, RasulNya serta bersedia berkorban membela agamaNya dengan berjihad dijalanNya. Dan untuk memelihara iman, maka salah satu sarananya adalah melaksanakan perintah yang terdapat dalam kitabullah, khususnya setelah seruan “Wahai orang-orang yang beriman, Yaa Ayyuhalldziyna Aamanu” Dan salah satu perintahnya adalah untuk masuk kedalam agama Islam secara kaaffah, menyeluruh.

Sebagaimana ungkapan dalam Al-Hikam, “Bagaimana mungkin ia pergi menuju Allah, sementara ia terpasung oleh syahwatnya” [14] dan bagaimana seseorang memperoleh rahmah Allah sementara ia berjalan menjauhiNya? Dan bagaimana pula ia masuk surga tanpa memperoleh rahmahNya?

[1] Ali-Imran [3] : 14

[*1] Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang Termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.

[2] Al-Baqarah [2] : 165

[*2] Yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.

[3] Ali-Imran [3] : 31

[4] At-Taubah [9] : 24

[5] Al-Qashash [28] : 77

[6] Al-Baqarah [2] : 204

[7] Al-Baqarah [2] : 205

[8] Al-Baqarah [2] : 206

[9] Al-Baqarah [2] : 207

[10] Al-Muthaffifin [83] : 29-36

[11] Al-Baqarah [2] : 208

[12] Al-Baqarah [2] : 209

[13] HR Bukhori, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i, dari Anas bin Malik ra.

[14] Al-Hikam Ibnu ‘Atha’illah

Minggu, 14 Februari 2010

Jangan sampai terlambat …

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa[*] semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [1]

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. [2]

Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar. [3]

[*] Dalam hubungan ini Lihat surat An Nisa ayat 48.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [4]

Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada, iringilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya dan pergaulilah semua manusia dengan budi pekerti yang baik. [5]

Sedih atas lenyapnya ketaatan dengan tidak diiringi oleh kebangkitan untuk melaksanakannya, adalah sebagian dari tanda keterpedayaan. [6]

Raja’ (harapan) adalah sesuatu yang disertai amal, kalau tidak, maka hal itu tidak lebih hanya lamunan belaka [7]

Ingat!Barang siapa yang kehendaknya tidak membangkitkan ketaatan dan membuatnya tetap berkubang di bumi syahwat, maka obatnya dua hal. Pertama, hendaknya ia menginsyafi karunia yang diberikan Allah kepadanya, dengan membimbingnya menuju Islam, mencintai keimanan, lalu ia pun bersyukur kepada Allah atas hal tersebut, untuk menjaga kelanggengan karunia itu pada dirinya. Kedua, hendaknya ia selalu merendahkan diri dan berdo’a dengan penuh keyakinan akan dikabulkan, dengan memanjatkan: “Wahai Rabb-ku, selamatkanlah aku, selamatkanlah aku.” Jika kedua obat penawar ini dilalaikan, maka kecelakaan akan menimpanya. [8]

Na’am, bahwa iman itu adakalanya naik dan adakalanya turun. Kondisi kita di zaman fitnah ini boleh jadi terjerembab dalam jurang kehinaan. Bisa jadi banyak amal ketaatan yang kita abaikan, bisa jadi banyak kelalaian yang kita perbuat, dan bisa jadi kita terpedaya dan terjerumus dalam dosa-kemaksiatan, baik kecil, maupun yang besar, baik dalam frekuensi yang jarang atau malahan frekuensi yang tergolong sering, wal’iyadzu billah.

Berdo’alah, terhindar dari dosa syirik. Karena kesyirikan merupakan dosa besar yang paling besar. Dan pelakunya yang tiada bertaubat hingga maut menjemput, telah dijanjikanNya neraka jahannam.

Berupayalah untuk kembali, kejalan dimana pada akhir perjalanan tersebut, Allah membukakan pintu rahmahNya, pintu ampunanNya, pintu jannahNya selebar-lebarnya bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.

Jangan sampai terlewat waktu yang terlampau lama, hingga pada akhirnya kesempatan kembali menjadi tertutup, terhijab. Bukan Allah yang menutup pintu tersebut, akan tetapi bisa jadi terhijabnya kita karena hati terlanjur mengeras, atau mati, atau bashirah telah menjadi buta, hingga cahaya hidayah tiada lagi terlihat. Dan yang ada hanya kegelapan, setan telah meliputi kehidupannya, na’udzubillah.

Cobalah, menanam ketaqwaan, dimulai dengan kesadaran secara sportif, mengakui kesalahan dan memohon ampunanNya. Dan bergegaslah, menghapus kesalahan dengan mulai memperbanyak kebaikan. Semoga Allah mengganti waktu yang berlalu dengan bergelimpangan maksiat, dengan masa depan yang bermuara pada kenikmatan yang disediakanNya di jannah.

Kesedihan atas masa lalu yang kelam, harus diikuti dengan kebangkitan, bersemangatnya diri dengan ketaatan dan usaha menjauhi maksiat, dosa dan dunia syahwat yang bertentangan dengan syariat. Bukankah harapanmu untuk mendapat rahmahNya, ampunanNya, ridhoNya, jannahNya perlu diikuti amal yang relevan?

Cobalah juga, merenungi, betapa banyak nikmatNya, betapa pula terlampau mudah di zaman ini untuk menyongsong hidayah. Media informasi sangat cukup memadai menjawab segala ketidaktahuan kita tentang agama mulia ini. Yang memperlakukan manusia sesuai fitrahnya. Apa lagi alas an bagimu jika kelak ditanya mengapa tiada segera menapaki jalan ke surga? Jika saat ini semua informasi ada didepanmu, di media cetak, media elektronik, internet? Dan cobalah mensyukuri segenap nikmatNya, segenap kemudahan menjangkau hidayahNya, yang juga berarti betapa Allah menyayangimu, menghendakimu menempuh jalan menujuNya, menuju rahmahNya, menuju ridhoNya menuju jannahNya. Dan bersyukurlah dengan mulai mentaatiNya, mulailah menjauhi dosa maksiat kepadaNya.

Dan berdo’alah, sebagaiman Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzali mengajarkan. “Wahai Rabb-ku, selamatkanlah aku, selamatkanlah aku.”

Cikarang (antara karawang dan bekasi) 1 Rabi’ul Awwal 1431

Kebenaran datang dari Allah, (Ya Rabbanaa, Subhanaaka Laa ‘ilma Lana illa Maa ‘Allamtanaa), Allahu A’alam.

[1] Az Zumar [39] : 53

[2] Al Hadid [57] : 16

[3] Al Hadid [57] : 21

[4] An Nisa [4] : 48

[5] HR Tirmidzi. Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Mu’adz bin Jabal ra.

[6] Al Hikam Ibnu ‘Atho’illah

[7] Al Hikam Ibnu ‘Atho’illah

[8] Dalam kitab Mudzakirat fi manazilis Shiddiqien wa Rabbaniyyin, Sa’id Hawa menukil komentar Ibnu ‘Ajibah berkenaan hikmah “Sedih atas lenyapnya ketaatan dengan tidak diiringi oleh kebangkitan untuk melaksanakannya, adalah sebagian dari tanda keterpedayaan “ dengan mengemukakan pendapat Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzali terkait dua obat penawar ini.

Jumat, 05 Februari 2010

Mushibah


Kita sebenarnya rapuh. Jika kita sungguh-sungguh secara jujur menyadari hal ini. Pengecualian bagi siapa saja yang tiada percaya adanya Tuhan, dan hanya menyembah thaghut/berhala. Kerapuhan kita terlihat saat mushibah melanda. Mushibah secara harfiah diartikan sebagai sesuatu yang mengenai. Mushibah bisa jadi berupa kebaikan atau kebahagiaan dan juga bisa berarti kejelekan atau kesengsaraan.
Betapa banyak kebahagiaan yang mengundang rasa syukur tiada terkira dari jiwa yang diterangi keimanan, dan betapa banyak pula kebahagiaan yang membuat manusia lupa bahwa ia sedang berjalan menuju jurang kebinasaan. Di sisi lain, bencana terkadang membuat manusia kembali mengingat kebesaranNya, kuasaNya dan bencana juga terkadang tidak diambil sebagai pelajaran, sarana introspeksi yang kemudian berujung dengan matinya hati hingga manusia yang merugi tetap saja tidak kembali kepada jalanNya.

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Alloh.
(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira[1459] terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Alloh tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (Al-Hadiid :22-23)

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Alloh telah menetakan “maqaadir”(taqdir-ketetapan) semua makhluq, lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya lagit dan bumi... (HR Muslim [2653])

Namun, ketahuilah bahwa setiap kebaikan dan bencana yang merupakan mushibah yang menimpa kita telah tercatat di Lauh Mahfuzh. ”... Hal yang demikian itu adalah mudah bagi Alloh.”(Al-Hadiid:22) meskipun Akal kita tiada mampu menjangkaunya. Dan mushibah ini diperuntukkan agar kita tiada terlalu berduka cita dan tiada pula terlalu tenggelam dalam kebahagiaan. Alloh Maha Mengetahui, Alloh Maha Pemurah, lalu apalagi yang perlu kita risaukan jika langkah kaki ini sudah tepat menapaki jalanNya? Dan apatah lagi yang perlu dirisaukan jika ia telah memilih bagi kita mushibah agar kita kembali ingat kepadaNya saat kita mulai lalai? Dan mengapa kita tiada berbahagia jika ia mengingatkan kita untuk tiada berlaku sombong? Bukankah janjiNya kepada orang yang menyombongkan diri adalah akan dimasukkan kedalam nerakaNya? Dan menjadi alasan yang tepat untuk berbahagia jika ia menyiapkan kebahagian-kebahagiaan untuk kita syukuri agar Alloh bisa melipatgandakan nikmatNya sembari mengurangi kesedihan kita. Allohumma lakal-hamdu wa lakasy-syukru...

Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Alloh) dengan sabar dan shalat., Sesungguh1nya Alloh beserta orang-orang yang sabar.(Al-Baqarah:153)

Senantiasa kita perlukan pertolonganNya, karena kerapuhan kita menghalangi kita ’tuk tersadar mengenai hakikat rahmatNya yang luas dan hakikat pedih siksaNya yang coba dijauhkanNya dari kita dengan segala rahmatNyadalam bentuk mushibah yang menimpa kita. Mintalah pertolonganNya dengan kesabaran dan shalat. Dan sadarilah kedudukan kita, kita semua adalah milik Alloh dan kita, semua urusan kita berpaling hanya kepada pemiliknya.

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"[Sesungguhnya Kami adalah milik Alloh dan kepada-Nya-lah Kami kembali- kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa].(Al-Baqarah:155-156)