Minggu, 21 Februari 2010

(Sejenak) mengeja cinta



Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[*1] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). [1]

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[*2] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). [2]

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [3]

Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. [4]

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. [5]


Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras. [6]

Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk Mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. [7]

Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. [8]

Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. [9]

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman.[] Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya.[] Dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.[] Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: "Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat", [] Padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin.[] Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir,[] Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang.[] Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. [10]

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. [11]

Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, Maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [12]

Tiada beriman slah seorang diantara kamu, hingga aku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya dan manusia semuanya [13]

Bagaimana mungkin ia pergi menuju Allah, sementara ia terpasung oleh syahwatnya [14]

DijadikanNya indah, dalam pandangan manusia hal-hal yang disenanginya. Hal ini merupakan kesenangan dunia, dan adalah dunia itu sementara. Sedangkan surga, dijadikanNya kekal abadi. Kecintaan yang benar tentu saja mengutamakan kecintaan terhadap hal yang abadi, kekal, dibandingkan kecintaan terhadap hal-hal yang semu, yang sementara. Sehingga tak heran, cintanya orang-orang yang beriman teramat sangat kepada Allah. Bukankah seorang hamba akan masuk surga hanya dengan rahmah Allah? Adapun, mencintai kesenangan dunia, asalkan sesuai syari’at, dan tidak melebihi batas-batas kewajarannya tentu saja diperkenankan.

Mencintai kesenangan dunia melebihi kecintaan kepadaNya, merupakan sikap zhalim. Dan setiap kezaliman akan menuai siksa di hari pembalasan. Dalam syari’at bukankah diperkenankan bagi manusia mengambil kebutuhannya, dari kesenangan-kesenangan dunia yang disediakanNya? Tentu saja hal tersebut dalam rangka semakin dekat kepadaNya, semakin memahami keagunganNya, semakin bersyukur atas segala nikmatNya, semakin taat dan patuh kepadaNya serta semakin rindu untuk bertemu denganNya.

Maka tiada patut bagi manusia yang memiliki akal, untuk mengambil jalan selain jalan ketaatan kepadaNya, mengikuti segala syariat yang diturunkanNya. Dan bagi orang yang beriman, dijanjikanNya maghfiroh, ampunan, ridho, rahmah dan JannahNya. Dengan kata lain, tidak patut bagi manusia untuk mencintai kesenangan dunia melebihi cintanya kepada Allah dan RasulNya serta berjihad di jalanNya. Mencintai Allah berarti juga mencintai RasulNya dan syariat yang diturunkanNya. Adalah wajar, jika cinta menuntut sebuah pengorbanan, untuk membela syariatNya, dengan berjihad dijalanNya.

Bisa jadi ada seseorang yang diberi cobaan baginya kesenangan dunia, dan kita melihatnya sebagai orang yang berbahagia, dan ucapan-ucapannya mengenai dunia begitu memikat hati kita meskipun pada hakikatnya ia adalah orang yang menentang syari’atNya. Bisa jadi hal ini adalah tadarruj, dimana seseorang dibiarkan tetap melakukan kekufuran, dan mungkin juga dibiarkan bertambah kekufurannya, sementara kenikmatan dunia diberikan juga untuk semakin melalaikannya dari mengingatNya. Maka berhati-hatilah terhadap ketergelinciran semacam ini.

Di sisi lain, mungkin ada seorang yang berusaha mencari ridho Allah, berbekal keikhlasan mengharap ridhoNya, dan kemauan keras mengikuti sunnah Rasulullah SAW, sedangkan dimata masyarakat ia memperoleh hinaan, cercaan bahkan tindakan yang kurang terpuji. Maka jika ia meniti jalan dengan langkah yang benar, dan ia berjalan di jalanNya, tiada berarti fitnah baginya di sepanjang kehidupan dunia yang sementara ini, karena telah dijanjikanNya kesudahan yang berujung kebahagian nan kekal di surgaNya kelak.

Ketika orang-orang yang beriman di dunia ditertawakan oleh orang kuffar karena mereka berpegang teguh kepada kebenaran, maka Allah menjanjikan kelak di surga, orang-orang yang beriman berbalik menertawakan orang yang kufur kepadaNya yang ditimpakan azab atas mereka disebabkan segala amal-amal buruknya di dunia.

Ada baiknya, seorang hamba tersadar. Untuk memilih mencintai Allah dan RasulNya, serta berjihad dijalanNya, secara sungguh-sunguh dan utuh. Adapun mengenai kesenangan dunia, hendaklah ia mengambil “jatahnya” sebatas yang diperkenankan syari’at. Itupun sebagai bekal meniti jalan menujuNya.

Semua hal ini telah terangkum dalam syariat Islam yang universal, menyeluruh. Tinggal bagaimana kita menanam benih keimanan dalam hati, memupuknya hingga kuat menghujam dalam hati, dengan terus berupaya masuk dalam islam sepenuhnya. Teringat ungkapan dalam kitabnya Syeikh Al-Jazairy “Nidaa’urrahman li-ahliy imaan”, bahwasanya salah satu tafsir ayat-ayat “Yaa ayyuhalladziyna aamanuw”, bahwa perintah setelah seruan ini adalah merupakan sarana untuk memelihara iman di dalam hati.

Jadi bisa disimpulkan, bahwasanya seorang yang beriman, teramat sangat mencintai Allah, dan dengan cintaNya ini ia mentaati Allah, RasulNya serta bersedia berkorban membela agamaNya dengan berjihad dijalanNya. Dan untuk memelihara iman, maka salah satu sarananya adalah melaksanakan perintah yang terdapat dalam kitabullah, khususnya setelah seruan “Wahai orang-orang yang beriman, Yaa Ayyuhalldziyna Aamanu” Dan salah satu perintahnya adalah untuk masuk kedalam agama Islam secara kaaffah, menyeluruh.

Sebagaimana ungkapan dalam Al-Hikam, “Bagaimana mungkin ia pergi menuju Allah, sementara ia terpasung oleh syahwatnya” [14] dan bagaimana seseorang memperoleh rahmah Allah sementara ia berjalan menjauhiNya? Dan bagaimana pula ia masuk surga tanpa memperoleh rahmahNya?

[1] Ali-Imran [3] : 14

[*1] Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang Termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.

[2] Al-Baqarah [2] : 165

[*2] Yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.

[3] Ali-Imran [3] : 31

[4] At-Taubah [9] : 24

[5] Al-Qashash [28] : 77

[6] Al-Baqarah [2] : 204

[7] Al-Baqarah [2] : 205

[8] Al-Baqarah [2] : 206

[9] Al-Baqarah [2] : 207

[10] Al-Muthaffifin [83] : 29-36

[11] Al-Baqarah [2] : 208

[12] Al-Baqarah [2] : 209

[13] HR Bukhori, Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i, dari Anas bin Malik ra.

[14] Al-Hikam Ibnu ‘Atha’illah

Minggu, 14 Februari 2010

Jangan sampai terlambat …

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa[*] semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [1]

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. [2]

Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar. [3]

[*] Dalam hubungan ini Lihat surat An Nisa ayat 48.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [4]

Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada, iringilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya dan pergaulilah semua manusia dengan budi pekerti yang baik. [5]

Sedih atas lenyapnya ketaatan dengan tidak diiringi oleh kebangkitan untuk melaksanakannya, adalah sebagian dari tanda keterpedayaan. [6]

Raja’ (harapan) adalah sesuatu yang disertai amal, kalau tidak, maka hal itu tidak lebih hanya lamunan belaka [7]

Ingat!Barang siapa yang kehendaknya tidak membangkitkan ketaatan dan membuatnya tetap berkubang di bumi syahwat, maka obatnya dua hal. Pertama, hendaknya ia menginsyafi karunia yang diberikan Allah kepadanya, dengan membimbingnya menuju Islam, mencintai keimanan, lalu ia pun bersyukur kepada Allah atas hal tersebut, untuk menjaga kelanggengan karunia itu pada dirinya. Kedua, hendaknya ia selalu merendahkan diri dan berdo’a dengan penuh keyakinan akan dikabulkan, dengan memanjatkan: “Wahai Rabb-ku, selamatkanlah aku, selamatkanlah aku.” Jika kedua obat penawar ini dilalaikan, maka kecelakaan akan menimpanya. [8]

Na’am, bahwa iman itu adakalanya naik dan adakalanya turun. Kondisi kita di zaman fitnah ini boleh jadi terjerembab dalam jurang kehinaan. Bisa jadi banyak amal ketaatan yang kita abaikan, bisa jadi banyak kelalaian yang kita perbuat, dan bisa jadi kita terpedaya dan terjerumus dalam dosa-kemaksiatan, baik kecil, maupun yang besar, baik dalam frekuensi yang jarang atau malahan frekuensi yang tergolong sering, wal’iyadzu billah.

Berdo’alah, terhindar dari dosa syirik. Karena kesyirikan merupakan dosa besar yang paling besar. Dan pelakunya yang tiada bertaubat hingga maut menjemput, telah dijanjikanNya neraka jahannam.

Berupayalah untuk kembali, kejalan dimana pada akhir perjalanan tersebut, Allah membukakan pintu rahmahNya, pintu ampunanNya, pintu jannahNya selebar-lebarnya bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.

Jangan sampai terlewat waktu yang terlampau lama, hingga pada akhirnya kesempatan kembali menjadi tertutup, terhijab. Bukan Allah yang menutup pintu tersebut, akan tetapi bisa jadi terhijabnya kita karena hati terlanjur mengeras, atau mati, atau bashirah telah menjadi buta, hingga cahaya hidayah tiada lagi terlihat. Dan yang ada hanya kegelapan, setan telah meliputi kehidupannya, na’udzubillah.

Cobalah, menanam ketaqwaan, dimulai dengan kesadaran secara sportif, mengakui kesalahan dan memohon ampunanNya. Dan bergegaslah, menghapus kesalahan dengan mulai memperbanyak kebaikan. Semoga Allah mengganti waktu yang berlalu dengan bergelimpangan maksiat, dengan masa depan yang bermuara pada kenikmatan yang disediakanNya di jannah.

Kesedihan atas masa lalu yang kelam, harus diikuti dengan kebangkitan, bersemangatnya diri dengan ketaatan dan usaha menjauhi maksiat, dosa dan dunia syahwat yang bertentangan dengan syariat. Bukankah harapanmu untuk mendapat rahmahNya, ampunanNya, ridhoNya, jannahNya perlu diikuti amal yang relevan?

Cobalah juga, merenungi, betapa banyak nikmatNya, betapa pula terlampau mudah di zaman ini untuk menyongsong hidayah. Media informasi sangat cukup memadai menjawab segala ketidaktahuan kita tentang agama mulia ini. Yang memperlakukan manusia sesuai fitrahnya. Apa lagi alas an bagimu jika kelak ditanya mengapa tiada segera menapaki jalan ke surga? Jika saat ini semua informasi ada didepanmu, di media cetak, media elektronik, internet? Dan cobalah mensyukuri segenap nikmatNya, segenap kemudahan menjangkau hidayahNya, yang juga berarti betapa Allah menyayangimu, menghendakimu menempuh jalan menujuNya, menuju rahmahNya, menuju ridhoNya menuju jannahNya. Dan bersyukurlah dengan mulai mentaatiNya, mulailah menjauhi dosa maksiat kepadaNya.

Dan berdo’alah, sebagaiman Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzali mengajarkan. “Wahai Rabb-ku, selamatkanlah aku, selamatkanlah aku.”

Cikarang (antara karawang dan bekasi) 1 Rabi’ul Awwal 1431

Kebenaran datang dari Allah, (Ya Rabbanaa, Subhanaaka Laa ‘ilma Lana illa Maa ‘Allamtanaa), Allahu A’alam.

[1] Az Zumar [39] : 53

[2] Al Hadid [57] : 16

[3] Al Hadid [57] : 21

[4] An Nisa [4] : 48

[5] HR Tirmidzi. Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Mu’adz bin Jabal ra.

[6] Al Hikam Ibnu ‘Atho’illah

[7] Al Hikam Ibnu ‘Atho’illah

[8] Dalam kitab Mudzakirat fi manazilis Shiddiqien wa Rabbaniyyin, Sa’id Hawa menukil komentar Ibnu ‘Ajibah berkenaan hikmah “Sedih atas lenyapnya ketaatan dengan tidak diiringi oleh kebangkitan untuk melaksanakannya, adalah sebagian dari tanda keterpedayaan “ dengan mengemukakan pendapat Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzali terkait dua obat penawar ini.

Jumat, 05 Februari 2010

Mushibah


Kita sebenarnya rapuh. Jika kita sungguh-sungguh secara jujur menyadari hal ini. Pengecualian bagi siapa saja yang tiada percaya adanya Tuhan, dan hanya menyembah thaghut/berhala. Kerapuhan kita terlihat saat mushibah melanda. Mushibah secara harfiah diartikan sebagai sesuatu yang mengenai. Mushibah bisa jadi berupa kebaikan atau kebahagiaan dan juga bisa berarti kejelekan atau kesengsaraan.
Betapa banyak kebahagiaan yang mengundang rasa syukur tiada terkira dari jiwa yang diterangi keimanan, dan betapa banyak pula kebahagiaan yang membuat manusia lupa bahwa ia sedang berjalan menuju jurang kebinasaan. Di sisi lain, bencana terkadang membuat manusia kembali mengingat kebesaranNya, kuasaNya dan bencana juga terkadang tidak diambil sebagai pelajaran, sarana introspeksi yang kemudian berujung dengan matinya hati hingga manusia yang merugi tetap saja tidak kembali kepada jalanNya.

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Alloh.
(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira[1459] terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Alloh tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (Al-Hadiid :22-23)

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Bahwa Rasulullah SAW bersabda “Alloh telah menetakan “maqaadir”(taqdir-ketetapan) semua makhluq, lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya lagit dan bumi... (HR Muslim [2653])

Namun, ketahuilah bahwa setiap kebaikan dan bencana yang merupakan mushibah yang menimpa kita telah tercatat di Lauh Mahfuzh. ”... Hal yang demikian itu adalah mudah bagi Alloh.”(Al-Hadiid:22) meskipun Akal kita tiada mampu menjangkaunya. Dan mushibah ini diperuntukkan agar kita tiada terlalu berduka cita dan tiada pula terlalu tenggelam dalam kebahagiaan. Alloh Maha Mengetahui, Alloh Maha Pemurah, lalu apalagi yang perlu kita risaukan jika langkah kaki ini sudah tepat menapaki jalanNya? Dan apatah lagi yang perlu dirisaukan jika ia telah memilih bagi kita mushibah agar kita kembali ingat kepadaNya saat kita mulai lalai? Dan mengapa kita tiada berbahagia jika ia mengingatkan kita untuk tiada berlaku sombong? Bukankah janjiNya kepada orang yang menyombongkan diri adalah akan dimasukkan kedalam nerakaNya? Dan menjadi alasan yang tepat untuk berbahagia jika ia menyiapkan kebahagian-kebahagiaan untuk kita syukuri agar Alloh bisa melipatgandakan nikmatNya sembari mengurangi kesedihan kita. Allohumma lakal-hamdu wa lakasy-syukru...

Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Alloh) dengan sabar dan shalat., Sesungguh1nya Alloh beserta orang-orang yang sabar.(Al-Baqarah:153)

Senantiasa kita perlukan pertolonganNya, karena kerapuhan kita menghalangi kita ’tuk tersadar mengenai hakikat rahmatNya yang luas dan hakikat pedih siksaNya yang coba dijauhkanNya dari kita dengan segala rahmatNyadalam bentuk mushibah yang menimpa kita. Mintalah pertolonganNya dengan kesabaran dan shalat. Dan sadarilah kedudukan kita, kita semua adalah milik Alloh dan kita, semua urusan kita berpaling hanya kepada pemiliknya.

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun"[Sesungguhnya Kami adalah milik Alloh dan kepada-Nya-lah Kami kembali- kalimat ini dinamakan kalimat istirjaa].(Al-Baqarah:155-156)