Sabtu, 30 Oktober 2010

Membaca (lagi) Bab Pertama


Permasalahan itu nyaris selalu ada. Permasalahan menurut Quality Control ala manufacturing, didefinisakan sebagai Gap (perbedaan) antara kondisi aktual dan target yang ingin dicapai. Di ranah kehidupan keseharian, masalah bisa jadi sesuatu yang tidak sesuai ekspektasi kita.

Terkadang, adanya masalah, menjadi sebuah alasan untuk menunda2 melakukan kebaikan. Kita ingin menyelesaikan masalah ini itu terlebih dahulu, baru kemudian beralih ke hal lain. Padahal, jika kita sadar bahwa masalah itu selalu kan ada, maka kita tidak akan menunggu momen yang tidak akan pernah datang itu. Yang ada, kita selalu berupaya melakukan yang terbaik, seberapa pun masalah datang.

Atau juga terkadang kita saking berfokus ke sebuah permasalahan besar, setelah mampu menyelesaikannya, tidak sadar, bahwa masalah lain sedang menunggu. Dan saat masalah baru datang, ketidaksiap-an kita membuat perasaan frustrasi hinggap dan kemudian menghalangi tumbuhnya semangat 'tuk melakukan kebaikan.

Masalah yang kita hadapi bisa besar atau kecil. Terkadang, penilaian seberapa besar atau kecilnya masalah berpulang dari perspektif, sudut pandang kita.

Malam ini, sejenak saya berfikir, bisa saja, permasalahan yang selama ini kita alami, berpulang pada ketidaktahuan kita mengenai cara memandang kehidupan ini, termasuk masalah didalamnya.

Jika seumpama saja kehidupan ini adalah proses belajar, maka ujian atau masalah adalah sarana untuk menguji proses pembelajaran yang kita tempuh.

Saat ujian akhir-akhir2 ini begitu terasa dahsyat, maka say menasehati diri saya agar jangan pernah merasa bosan, mengulang2 materi bab sebelumnya, mengambil hikmah dari perjalanan kehidupan yang telah ditempuh dan jangan pernah ragu untuk sesekali memulai mengeja kembali makna kehidupan, meskipun hal ini seperti halnya kita memulai lagi membaca Bab pertama.

Malam ini, sejenak saya juga bertanya, pernahkah kita bertanya pada diri kita sendiri, "Untuk apa kita hidup, apa tujuan yang ingin kita capai?" Dan "Apakah semua yang telah kita lakukan berarti bagi tujuan yang ingin kita capai?"

Minggu, 10 Oktober 2010

Sebelum terlanjur, sedikit bersabar terkadang perlu


Usia itu berbilang, dan kelak semua perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Seandainya surga dan neraka itu sekedar ilusi, tipuan dan dongeng belaka, maka semua orang pantas berlomba2 menjadi sejahat2nya manusia, merampok, membunuh dan minimal menipu sesamanya demi kesenangan hidupnya yang tanpa perhitungan amal (menurutnya). Dan menjadi orang baik -jika surga itu tidak ada- sepertinya hanya memberikan ketenangan hati, dan sedikit benefit sahaja.
Ada sebuah kisah, tapi ini berbau sufistik.
(Mohon maaf bagi yang kurang berkenan)
Pernah terjadi kebakaran pada sebuah pasar. Maka seseorang menemui Seorang ulama salaf dan menyatakan, "Wahai tuan, ada kebakaran di pasar." pemberi kabar itu meneruskan,"Tapi Kios kepunyaan anda untungya tidak terbakar." Dan Lalu Ulama salaf tersebut berucap " Alhamdulillah". Berpuluh-puluh tahun kemudian, ulama salaf ini masih teringat sikapnya pada saat itu, bertahmid, padahal seharusnya ia ber-istirja' (karena kios lain di pasar terbakar meskipun kiosnya selamat) dan senantiasa memohon ampun, takut seandainya ia salah bersikap.
Kisah lainnya, dikhabarkan dalam sebuah atsar, bahwa salah satu akhlaq Ibnu Abbas ra adalah beliau senantiasa merasa gembira saat turunnya hujan, merasa senang bahwa Allah menyirami kebun2 kaum muslimin, meskipun dikhabarkan beliau ra sendiri tidak memiliki kebun.
Sekedar ucapan, sekedar perasaan senang, jika ia bernilai kebaikan, maka akan mendatangkan kebaikan. Begitu juga sebaliknya.
Jika sekedar ucapan dan perasaan senang saja sangat berarti bagi salafush-shalih, maka apatah lagi sebuah tindakan, dan terlebih tindakan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum.
Menunggu suasana reda, atau mencari informasi yang valid, penting agar tidak salah bersikap, tidak salah berucap, dan lebih2 salah bertindak. Sebagaimana mencari ilmu, pemahaman yang lurus, sebuah kemestian agar langkah semakin hati2.
Bukankah taqwa digambarkan oleh seorang Shahabat ra seumpama berhati2 ketika melangkah di jalan yang dipenuhi duri berserakan?
Menjadi baik itu seumpama jagung yang takkan berbuah tanpa ada jagung lainnya disekitarnya.
Bertemu saudara seiman dan saling menasehati terkadang jauh lebih berharga daripada dunia dan se-isinya
Selamat berlari kencang, Semoga kita ditolongNya di hari2 ini, setelah kita ditinggalkan oleh Ramadhan.

Sebuah Pembenaran yang salah

Saya selalu suka mengingat2 cerita ini. Cerita ini disebutkan Ust. Rahmat Abdullah (Allahu yarham) dalam sebuah tulisan beliau (atau mungkin juga pada sebuah ceramah- Allahu a'lam)

Dalam sebuah perkampungan, pernah suatu malam masyarakat digegerkan oleh sebuah pencurian. Tak tanggung2, sebuah makam yang dicuri. Yang dicuri adalah kain kafan, dan jenazah diletakkan kembali di liang tanpa penutup kain kafan. Lalu kejadian ini berlalu.

Beberapa waktu kemudian, kejadian serupa terulang. Namun kali ini jenazah yang tanpa kafan dibiarkan di permukaan tanah, tidak lagi dimasukkan ke dalam liang. Dari cerita ini ada sebuah ungkapan "Rahimallahu as-saariqa al-awwal" (Semoga Allah merahmati pencuri yang dulu/yang pertama)

Ungkapan ini begitu dalam. Dua2nya pencuri, bedanya yang satu lebih santun. Mencuri tetaplah salah, namun karena pencuri kedua ini lebih "brutal" maka masyarakat berucap meminta rahmat bagi pencuri yang pertama.

Dus, seringkali karena ternyata ada yang berbuat lebih jahat, lebih keji, menjadikan kita merasa "aman", merasa bersih walaupun ternyata kita salah (namun lebih ringan kesalahannya).

Dan, seringkali perbuatan salah orang seakan menjadi sebuah pembenaran bagi kita melakukan tindakan serupa, dan biasanya lebih ringan.

Paling kecil misalnya pelanggaran peraturan lalu lintas, dan paling besar mungkin juga korupsi.

Karena ada yang melanggar, seakan2 ini menjadi "lampu hijau".

"Toh, yang lain juga melanggar."

Karena ada yang korupsi lebih banyak (atasannya misalkan), seakan menjadi alasan juga untuk merasa aman saat korupsi lebih sedikit.

"Toh saya cuma korupsi sedikit."

Ah, mudah2an kita diberi pencerahan, mudah2an saya, anda dan siapa pun juga bisa mulai menjadi pribadi2 yang tidak menjadikan kesalahan orang lain sebagai pembenaran untuk berperilaku sama salahnya,

Mudah2an saya, anda dan siapa pun juga bisa mulai menjadi pribadi2 yang tidak menjadikan kesalahan orang lain sebagai pembenaran untuk berperilaku salah namun lebih ringan

Mudah2an saya, anda dan siapa pun juga bisa mulai menjadi pribadi2 yang tidak menjadikan kesalahan orang lain sebagai pembenaran untuk berperilaku lebih salah dan menganggap orang yang kesalahannya lebih sedikit sebagai orang bodoh yang tidak memanfaatkan kesempatan.

Mencari solusi

Dalam Kaifa nata'amal ma'al-qur'an karya Syeikh Muhammad Al-Ghazali, disebutkan, bahwa sebagaimana kekalnya Al-Qur'an sebagai petunjuk dan sumber solusi semua permasalahan manusia, maka kesesatan dan permasalahan manusia pun sejatinya juga kekal hingga akhir zaman.
Rencana pembakaran Al-Qur'an misalnya, kejadian ini mengingatkan saya pada dua kejadian besar, yang pertama adalah kejahatan pembantaian massal umat islam di andalusia, dan kejadian kedua adalah penyerangan bangsa mongol ke wilayah Iraq. Betapa banyak Al-Qur'an yg dibakar masa itu.
Korupsi, perampokan, degradasi moral telah terjadi dimasa lampau, dan sekali lagi, Allah telah menurunkan penyembuh bagi orang yang beriman, yakni Al-Qur'an.

Giving up the result, not excuse

Umar bin khattab ketika bertanya kepada seorang sahabat mengenai taqwa, beliau ditanya balik, apakah anda pernah melalui jalan dg duri yg berserakan, ketika ia menyatakan pernah, ia kembali ditanya, apa yg anda lakukan? dijawab oleh Umar ra, aku akan berhati2 dan bersungguh2 agar tidak menginjak duri, sahabat yg ditanya berkata,"taqwa sebagaimana engkau berhati2 di jalan dg duri yg berserakan"
Ramadhan berlalu, seiring hilal syawwal yg terbit di atas ufuk, berbahagia dan bersedih sepertinya umum terjadi beriringan. Bersedih karena bulan penuh barakah ini akan berlalu, bergembira saat mendengar takbir menggema bahwa telah paripurna kewajiban puasa kita jalani. Sepenuh harap, agar segenap amal yang jauh dari sempurna di ramadhan kali ini bisa diterima, dan diperkenankan menjumpai ramadhan tahun mendatang.
Saat takbir menggema, semoga yang menjadi baru bukan sekedar pakaian sahaja, semoga yang baru adalah juga semangat ketaatan dan ketaqwaan yang semakin meningkat. Sebagaimana ungkapan dalam bahasa arab "Laysal-ied liman libaasuhu jadiyd, walakinnal-ied liman tho'atuhu(wa taqwahu) taziyd"
Bukanlah hari raya teruntuk mereka yg berpakaian baru, namun sejatinya hari raya teruntuk mereka yang ketaatan dan taqwanya bertambah.
Bulan syawwal, semoga menjadi bulan peningkatan.
"Harapan adalah sesuatu yg diiringi dengan amal, jika tidak maka sesungguhnya itu sekedar angan"(Al-Hikam)
Tiada mengherankan jika salafush-shalih dahulu, enam bulan berturut2 sebelum ramadhan memohon agar bisa dipertemukan Ramadhan. Dan selama enam bulan sisanya mereka memohon dan berdo'a agar amal2 di bulan ramadhan di terimaNya.
Semoga kita dijadikanNya mereka yang sepenuh hati berharap dijadikanNya hamba yg taqwa.
terakhir, dalam hadits riwayat Imam Ath-thobari dan Imam Daruquthni, dari shahabat Ubadah bin Shamit ra, disebutkan bahwa disunnahkan menghidupkan malam hari raya dengan amal2 bertaqarrub kepada Allah.

Pseudo black, pseudo darkness

Saat tinta hitam hampir habis atau kritis, dengan printer E**ON kita bisa tetap ngeprint. Warna hitam pada sebuah kertas hasil print, bisa berasal dari tinta hitam ataupun kombinasi warna Cyan, Magenta dan Yellow (kuning). Saya lebih suka menggunakan istilah pseudo black untuk warna ini.

Thus, kemudian saya berfikir, hal semacam ini juga terjadi dalam kehidupan kita. Pseudo black!

Anggap saja kehidupan kita sebagaimana sebuah kertas putih yang meluncur masuk kedalam sebuah printer, dan dengan seiring berjalannya waktu, warna2 tercetak dalam kehidupan kita. Atau kehidupan kita seumpama sebuah kanvas putih, yang kemudian kita goreskan warna diatasnya.

Setiap kehidupan manusia, memiliki warna tersendiri. Sebagaimana bahwa setiap kita adalah unik.

Beragam warna, selain putih yang menjadi sebuah dasar, atau sifat alamiah kita, ada juga warna hijau, biru, kuning, merah, ungu, kelabu dan warna lainnya. Ada warna-warna dasar, ada juga warna yang merupakan gradasi dari warna dasar dan tentu saja ada warna yang merupakan hasil kombinasi dari beberapa warna.

Kehidupan kita begitu penuh warna. Dan sejatinya kita memilih sebagian warna yang tercetak, yang terlukis dalam kehidupan kita, dan kita pun bisa jadi tumbuh pada lingkungan keluarga, masyarakat, wilayah yang memberi juga warna bagi kehidupan kita dengan atau tanpa persetujuan dan pemilihan dari diri kita.

Warna hitam, warna yang bisa memisahkan antar warna, dan juga bisa membentuk sebuah kerangka pola. Namun, tentu kita merasa warna hitam jika dominan bisa melambangkan sesuatu. Di belahan bumi tertentu, warna hitam, melambangkan kesedihan, kedukaan. Warna hitam juga melambangkan perlawanan, selain juga melambangkan kejahatan, sebagaimana warna hitam diasosiasikan sebagai lawannya warna putih, lambang kebenaran.

Pseudo black! Jika kita memandang warna hitam sebagai simbol kedukaan, maka bisa jadi kedukaan itu, warna gelap itu adalah pseudo black, hasil kombinasi beberapa warna. Mungkin sikap sabar bisa menjadi kunci untuk mengurai pseudo black menjadi warna-warna dasarnya yang secara alamiah indah.

Kemudian, bukankah hati digambarkan sebagai sesuatu yang alamiahnya bersih, tanpa noda, sebagaimana kertas atu kanvas putih? Noda hitam, mengotori hati. Pseudo black! Jangan-jangan noda gelap dalam hati kita merupakan pseudo black, gabungan dari berbagai warna, yang secara berlebihan mencetak noda gelap tersebut? Tak heran, agama senantiasa melarang kita untuk berlebih-lebihan kepada sesuatu yang pada dasarnya boleh, karena hal-hal yang boleh itu bisa jadi sebagimana warna-warna dasar yang jika kita terlampau banyak mengambilnya, akan menciptakan pseudo black, yang mengotori hati.

Hiduplah penuh warna, namun jangan biarkan warna hitam mendominasinya, jangan terlalu banyak mengkombinasikan warna, ambil dan jalani hidup dengan proporsional.

Dan hindari pula mewarnai hati dengan beragam warna yang pada akhirnya mencetak noda gelap, dan terkotorilah hati.

Shibghah Allah[*]. dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah. [QS Al Baqarah[2]:138]

[*] Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan.

Terakhir, berikut ini uraian dari Ibnu Atho’illah dalam Al-Hikam, semoga memberikan pencerahan:

Bagaimana mungkin hati bersinar, sementara gambaran-gambaran alam terlukis di cerminnya.
Bagaimana mungkin ia pergi menuju Allah, sementara ia terpasung oleh syahwatnya.
Bagaimana mungkin ia menuju ke hadirat Allah, sementara ia belum menyadari kelalaiannya.
Bagaimana mungkin ia berharap bisa memahami secara detil rahasia, sementara ia belumbertobat dari beragam kelalaiannya